JAKARTA - Polemik terkait pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat setelah beredar tangkapan layar yang diklaim berasal dari pesan internal PDIP. Pesan tersebut disebut-sebut berisi ajakan menolak rencana pemerintah. Namun, isu itu justru membuka babak baru diskusi publik—bukan semata soal benar atau salah, tetapi bagaimana bangsa menilai ulang warisan sejarah para pemimpinnya.


Politisi PDIP Guntur Romli segera meluruskan kabar itu. Ia memastikan bahwa pesan yang beredar hanyalah hoaks dan tidak ada instruksi dari elite partai, baik Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto maupun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, untuk menggalang penolakan.

Meski demikian, suara kehati-hatian tetap terdengar dari internal partai. Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira menyebut bahwa pemberian gelar pahlawan perlu mempertimbangkan catatan masa lalu, terutama isu-isu pelanggaran HAM yang kerap dilekatkan pada masa Orde Baru.


Berbeda dengan nuansa keberatan tersebut, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengambil sikap yang lebih rekonsiliatif. Ia menilai Soeharto layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional karena kontribusi besar yang diberikan selama puluhan tahun memimpin bangsa.


“Setiap tokoh memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi jika amalnya lebih banyak daripada dosanya, maka dia layak dihargai sebagai pahlawan,” kata JK dalam pernyataannya, Selasa (11/11/2025).

Bagi JK, penilaian terhadap Soeharto tak bisa berhenti di satu bab sejarah. Pembangunan ekonomi, stabilitas nasional, dan pencapaian infrastruktur menjadi faktor yang juga harus dihitung dalam neraca sejarah.


Dukungan serupa datang dari Ketua Umum KNPI Haris Pertama. Ia mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto, menyebut bahwa Soeharto merupakan tokoh besar yang wafat dengan meninggalkan jejak—baik dalam pembangunan maupun tata kelola pemerintahan.


Di tengah silang pendapat tersebut, pemerintah telah mengetuk palu. Melalui Keppres Nomor 116/TK/Tahun 2025, Soeharto resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional setelah melalui sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang dipimpin Menkopolhukam.


Perdebatan publik yang muncul tidak sekadar menyoal layak atau tidaknya Soeharto mendapat gelar, tetapi lebih jauh menunjukkan bagaimana bangsa ini terus berusaha berdamai dengan sejarahnya sendiri. Ada yang menekankan kehati-hatian, ada yang menitikberatkan pada rekonsiliasi, dan tidak sedikit yang melihat momentum ini sebagai ruang belajar kolektif.


Di tengah perbedaan pandangan itu, satu hal menjadi jelas: sejarah tidak pernah berhenti ditafsirkan ulang. Gelar pahlawan bagi Soeharto menjadi cermin bagaimana bangsa ini berupaya menempatkan masa lalu secara proporsional—bukan untuk menghapus, tetapi untuk memahami dan menimbangnya secara lebih utuh.*