JAKARTA – Pemerintah Indonesia resmi mengubah skema penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026. Kini, penetapan UMP tidak lagi mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), melainkan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang memberikan fleksibilitas lebih besar kepada daerah.


Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa skema baru ini tidak lagi menggunakan formula satu angka nasional. Menurutnya, penetapan upah minimum akan disesuaikan secara fleksibel dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di masing-masing daerah.


Perubahan regulasi ini merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/2023 yang menegaskan bahwa KHL harus menjadi faktor utama dalam perhitungan upah minimum. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi mewajibkan pengumuman kenaikan UMP secara serentak pada 21 November seperti yang berlaku sebelumnya.


Dalam skema baru ini, Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diberikan kewenangan lebih besar untuk menentukan besaran UMP. Penetapan dilakukan berdasarkan koefisien pertumbuhan ekonomi daerah dan indikator KHL yang objektif. Pendekatan ini diharapkan mampu mengurangi kesenjangan upah antar daerah yang selama ini menjadi tantangan tersendiri.


Serikat pekerja menyambut baik kebijakan ini. Mereka menilai pendekatan baru lebih adil dan relevan dengan kondisi sosial-ekonomi lokal. Dewan Pengupahan, yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja, kini memegang peran sentral dalam menyusun rekomendasi kenaikan UMP secara proporsional dan transparan.


“Dengan transformasi ini, keputusan pengupahan tidak hanya bersifat administratif, tetapi benar-benar mempertimbangkan hak dan kebutuhan pekerja serta kondisi daerah,” ujar Yassierli.


Pemerintah berharap skema baru ini dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja tanpa mengganggu stabilitas iklim usaha. Pendekatan yang lebih adaptif ini juga diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha.*