MEDAN – Perpanjangan status tanggap darurat banjir dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera kembali memunculkan desakan agar pemerintah pusat menetapkan status Bencana Nasional. Tujuannya, agar konsentrasi anggaran dan distribusi bantuan bisa dilakukan lebih cepat dan terkoordinasi.
Namun, dorongan ini tak lepas dari kontroversi. Kekhawatiran publik mencuat terkait potensi penyalahgunaan anggaran jika status darurat nasional diberlakukan tanpa pengawasan ketat.
Salah satu tokoh yang mendorong penetapan status Bencana Nasional adalah anggota DPD RI asal Sumatera Barat, Irman Gusman. Meski sempat ditolak saat mencoba menggandeng Gubernur Sumbar, Irman kini menggalang dukungan internal DPD untuk mengusulkan langkah tersebut secara kelembagaan.
Langkah Irman menuai sorotan karena rekam jejaknya sebagai mantan terpidana korupsi. Banyak pihak menilai, dorongan dari figur dengan latar belakang tersebut justru memperkuat kekhawatiran publik akan potensi celah korupsi dalam situasi darurat.
Pengalaman selama pandemi Covid-19 menjadi pengingat pahit. Status darurat saat itu membuka ruang bagi praktik korupsi dalam pengadaan barang, distribusi bantuan, hingga program jaring pengaman sosial.
Kasus besar di Kementerian Sosial yang menyeret menteri aktif saat itu ke penjara selama 12 tahun menjadi contoh nyata. Begitu pula dengan pengadaan alat pelindung diri yang berujung vonis bagi sejumlah pelaku karena mark up harga dan manipulasi data.
Situasi serupa dikhawatirkan terulang jika status Bencana Nasional ditetapkan tanpa pengawasan ketat, apalagi jika tokoh pendorongnya memiliki rekam jejak bermasalah.
Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin menanggapi desakan ini dengan hati-hati. Ia menegaskan bahwa yang lebih penting saat ini adalah percepatan penanganan di lapangan, bukan sekadar status formal.
Menurutnya, Indonesia masih mampu menangani bencana secara mandiri tanpa harus membuka pintu bantuan asing. Ia juga mengingatkan bahwa proses birokrasi penetapan status justru bisa memperlambat evakuasi dan distribusi bantuan yang sangat dibutuhkan masyarakat.
20 Kasus Korupsi Bencana Sepanjang 2024
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sedikitnya 20 kasus korupsi anggaran bencana terjadi sepanjang 2024, dengan total kerugian negara mencapai Rp 14,2 miliar.
Peneliti ICW, Erma Nuzulia Syifa, menyebut tiga titik rawan utama dalam korupsi kebencanaan: mark up harga bantuan, permainan kontrak dengan pihak ketiga, dan data fiktif penerima bantuan.
“Korupsi ini mencakup pengadaan alat meteorologi, bantuan relokasi mandiri, hingga dana rehabilitasi pasca bencana,” ujar Erma dalam konferensi pers di Jakarta.
Presiden Prabowo Subianto pun telah mengeluarkan peringatan keras agar tidak ada pihak yang memanfaatkan situasi bencana untuk memperkaya diri.
*Perlu Pendekatan Komprehensif*
Desakan penetapan status Bencana Nasional untuk Sumatera harus dilihat secara menyeluruh. Selain mempercepat alokasi anggaran, pemerintah juga wajib menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan darurat.
Temuan ICW, peringatan Presiden, dan pengalaman masa pandemi menjadi alarm bahwa status darurat bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal integritas.*



