Jakarta – Dua puluh tujuh tahun setelah Reformasi 1998, Indonesia kembali dihadapkan pada perdebatan mendasar mengenai batas-batas peran aparat keamanan dalam struktur birokrasi sipil. Perdebatan ini mencuat menyusul diterbitkannya Peraturan Polri (Perpol) No. 10 Tahun 2025, yang secara eksplisit membuka dan memperluas peluang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil. Langkah ini dinilai kontroversial karena dianggap bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Reformasi 1998 merupakan tonggak sejarah yang mengakhiri dominasi militer dalam urusan sipil dan politik. Salah satu capaian terpentingnya adalah penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI—doktrin yang selama Orde Baru menjadikan aparat keamanan sebagai penguasa politik dan birokrasi. Undang-undang pasca-Reformasi dirancang untuk memastikan bahwa jabatan sipil hanya boleh diisi oleh warga sipil, guna menegakkan supremasi sipil dan negara hukum.
Kepatuhan TNI dan Kontras Polri
Semangat pemisahan peran ini diwujudkan melalui pemisahan institusional TNI dan Polri. Dalam konteks kepatuhan terhadap hukum sipil, TNI menunjukkan komitmen yang jelas. Undang-Undang (UU) No. 34 Tahun 2004 tentang TNI secara tegas melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil. Dalam praktiknya, TNI telah kembali ke barak, fokus pada fungsi pertahanan, dan menghindari intervensi dalam birokrasi. Jenderal aktif yang terlibat dalam jabatan sipil hanya dapat melakukannya setelah pensiun, sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Namun, sikap berbeda ditunjukkan oleh Polri. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan yang membatasi dan secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil di luar fungsi kepolisian, institusi ini merespons dengan mengeluarkan Peraturan Polri No. 10 Tahun 2025. Perpol tersebut tidak hanya mengizinkan, tetapi juga memperluas ruang bagi polisi aktif untuk mengisi berbagai posisi di kementerian, lembaga, hingga pemerintahan daerah.
Anomali Hukum Tata Negara
Secara logika hukum tata negara, tindakan Polri ini menimbulkan anomali serius. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and binding). Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, putusan MK berada pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan peraturan internal lembaga seperti Perpol.
Ketika Perpol digunakan sebagai dasar hukum untuk menabrak atau mengesampingkan putusan MK, yang terjadi bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan potensi pembangkangan konstitusional. Penggunaan peraturan internal lembaga seolah-olah setara dengan dasar hukum yang lebih tinggi dikhawatirkan menciptakan preseden bahwa konstitusi dapat dikalahkan oleh kebijakan internal institusi.
Kondisi ini menciptakan bahaya laten. Polri, sebagai entitas penegak hukum, kini berpotensi menjadi pembuat norma dan penafsir konstitusi secara sepihak. Tanpa mekanisme pengawasan eksternal yang kuat, birokrasi sipil berisiko berada di bawah bayang-bayang aparat bersenjata.
Alih-alih mengumumkan Dwifungsi sebagai doktrin, semangat Dwifungsi kini diselundupkan melalui regulasi internal yang tampil legalistik. Jika praktik ini dibiarkan, fondasi negara hukum demokratis berpotensi terkikis, di mana kedaulatan tidak lagi berada di tangan konstitusi dan rakyat, melainkan di tangan institusi berseragam. Hal ini menjadi alarm keras bagi Republik Indonesia untuk kembali menegaskan supremasi sipil yang menjadi amanat utama Reformasi 1998.*
Penulis: Hanif Nurcholis



