OPINI - Ruang publik Indonesia dalam beberapa waktu terakhir diramaikan oleh perdebatan sengit mengenai terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025. Regulasi internal Polri ini menjadi sorotan tajam karena dinilai bertentangan secara frontal dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
Kontroversi mencuat lantaran Perpol Nomor 10 Tahun 2025, yang disahkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mengesahkan sejumlah jabatan di luar struktur Kepolisian yang dapat diisi oleh anggota Polri aktif. Padahal, Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan belum lama ini, secara eksplisit melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil di luar struktur Kepolisian RI.
Putusan MK tersebut merupakan hasil uji materiil terhadap Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Oleh sebagian kalangan, penerbitan Perpol ini dipandang sebagai bentuk ketidakpatuhan hukum atau bahkan pembangkangan terhadap putusan konstitusional yang bersifat final dan mengikat (final and binding) serta wajib dilaksanakan tanpa syarat.
Argumentasi Balik Kepolisian
Di sisi lain, Markas Besar (Mabes) Polri memberikan pembelaan atas penerbitan regulasi tersebut. Polri, melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat, menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (3) UU Polri beserta penjelasannya masih memiliki kekuatan hukum mengikat, meskipun Putusan MK telah dibacakan.
Dasar argumentasi Kepolisian merujuk pada regulasi lain, yakni Pasal 18 ayat (2) huruf b UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang membuka ruang jabatan tertentu diisi oleh anggota Polri aktif, serta Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Pandangan ini memunculkan pertanyaan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia: bagaimana posisi Putusan MK yang final dan mengikat ketika berhadapan dengan regulasi turunan atau tafsir administratif lembaga negara?
Kewajiban Mematuhi Putusan Konstitusi
Secara konstitusional, Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan tidak dapat diganggu gugat. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU MK, putusan MK bersifat final, berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan, dan tidak tersedia upaya hukum lanjutan.
Dalam konteks Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, secara hukum putusan tersebut wajib dipatuhi oleh seluruh lembaga negara, termasuk Polri. Secara teoritik, terdapat kondisi sangat terbatas yang memungkinkan perubahan relevansi putusan MK, seperti perubahan UUD 1945 atau peninjauan ulang oleh MK sendiri akibat kekhilafan serius. Namun, kondisi tersebut tidak berlaku dalam kasus Perpol 10/2025.
Dari sudut pandang ilmu perundang-undangan, norma dalam undang-undang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Artinya, penafsiran terhadap Pasal 28 ayat (3) UU Polri tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan dengan tugas pokok Polri, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002.
Ketika Mahkamah Konstitusi telah memutus dan menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945, maka ruang tafsir administratif oleh lembaga pelaksana seharusnya tertutup. Persoalan ini bergeser dari sekadar tafsir norma menjadi implementasi putusan konstitusional.
Ujian Kepastian Hukum
Keberadaan Polri memperoleh legitimasi dari Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan tugas Polri sebagai alat negara dalam menjaga keamanan, ketertiban, serta penegakan hukum. Konflik antara Perpol dan Putusan MK ini berpotensi merusak wibawa hukum dan konstitusi di mata publik.
Sebagai negara hukum, kepastian hukum hanya dapat terjaga jika seluruh putusan pengadilan konstitusional dipatuhi, dan tidak ditafsirkan ulang atau diabaikan melalui regulasi teknis. Kontroversi Perpol Nomor 10 Tahun 2025 menjadi cermin penting bagi seluruh pemangku kepentingan—MK, Kepolisian, dan Pemerintah—mengenai pentingnya kepatuhan institusional terhadap hierarki peraturan perundang-undangan.



