KOTA BEKASI – Yayasan Bantuan Hukum Perempuan dan Anak Indonesia (YBHPA) resmi diluncurkan di Kota Bekasi sebagai upaya konkret memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan dan anak yang rentan mengalami kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan.

Peresmian yayasan ini dihadiri oleh unsur pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta pegiat hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), menyusul tren peningkatan kasus kekerasan terhadap kelompok rentan di wilayah tersebut.

Ketua YBHPA, Ria Manurung, menegaskan bahwa pendirian yayasan ini bukan sekadar seremoni, melainkan tonggak penting dalam perjuangan penegakan keadilan. Ia menyoroti masih banyaknya korban yang kesulitan mendapatkan akses dan pendampingan hukum.

“Masih banyak perempuan dan anak yang menjadi korban, tetapi tidak berani atau tidak mampu memperjuangkan hak-haknya karena keterbatasan pengetahuan, akses, dan pendampingan hukum,” kata Ria dalam sambutannya.

Ia menjelaskan, YBHPA akan menjadi ruang aman bagi korban melalui layanan pendampingan hukum, edukasi, advokasi, serta perlindungan yang berkelanjutan dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Urgensi kehadiran yayasan ini diperkuat oleh data dari aparat penegak hukum. Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bekasi, Silvia Triana Hapsari, mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayahnya menunjukkan tren peningkatan. Ia mencatat adanya 77 perkara yang telah diputus pada tahun 2024, dan angka tersebut meningkat menjadi 81 perkara pada tahun 2025 (data yang diputus per periode).

Silvia berharap YBHPA dapat menjadi mitra strategis untuk membantu mengurangi, bahkan menihilkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya di Kota Bekasi. Ia juga mendorong adanya kerja sama dan koordinasi yang erat antara yayasan, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum agar upaya perlindungan berjalan efektif.

Sementara itu, Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, yang turut hadir menyampaikan apresiasi atas berdirinya yayasan tersebut. Menurutnya, kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas perempuan dan anak-anaknya.

Tri Adhianto menekankan bahwa penanganan kasus kekerasan tidak cukup hanya dari sisi hukum, tetapi juga membutuhkan pendekatan psikologis agar korban dapat pulih dari trauma. Ia menilai kehadiran yayasan ini memperkuat peran masyarakat dalam menangani persoalan sosial di tengah dinamika Kota Bekasi.

“Kontribusi hari ini bukan hanya pemerintah, tetapi juga partisipasi warga. Kerja-kerja sosial seperti ini sangat dibutuhkan, termasuk untuk meningkatkan kesadaran hukum agar tidak semua persoalan berujung ke pengadilan,” ujar Tri.

Peresmian Yayasan Bantuan Hukum Perempuan dan Anak Indonesia ini diharapkan menjadi langkah konkret dalam membangun Kota Bekasi yang lebih aman, adil, dan ramah bagi perempuan serta anak.