JAKARTA – Di tengah masih tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia, Komunitas Perempuan Berkebaya (KPB) bersama SinemArt, Tarantella Pictures, The Big Picture, dan Women’s Crisis Center (WCC) Puantara menggelar kegiatan edukatif yang mengangkat isu KDRT melalui medium film. Bertempat di SCTV Tower, Jakarta Pusat, acara ini menghadirkan preview film “Suamiku, Lukaku”  sebagai pemantik diskusi bertema “KDRT di Sekitar Kita, Apakah Kita Sadar”.


Film ini bukan sekadar tontonan, melainkan refleksi atas realitas yang dialami banyak perempuan. Sutradara Viva Westi menyebut bahwa proses kreatif film ini melibatkan banyak perempuan di balik layar, dan mengangkat empat bentuk KDRT: kekerasan fisik, verbal, pemerkosaan dalam pernikahan, dan penelantaran nafkah.


“Cukup komplit di dalam film ini untuk penggambaran tentang KDRT itu sendiri…memang susah untuk memotong rantai itu sendiri,” ujar Viva (15/11). Ia menambahkan bahwa film ini juga memberikan informasi praktis bagi penonton perempuan tentang langkah-langkah mencari bantuan jika mengalami KDRT.


Ayu Azhari, salah satu pemeran utama, menekankan pentingnya menghentikan normalisasi kekerasan dalam rumah tangga. Ia mengingatkan bahwa pola kekerasan sering diwariskan secara tidak sadar antar generasi.


“Kita harus memberikan awareness kepada masyarakat, tidak boleh menormalisasikan sikap-sikap, berbagai perilaku yang mengarah pada KDRT,” tegas Ayu. Ia juga mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan sertifikasi pranikah sebagai syarat menikah, demi mencegah KDRT sejak dini.


Diskusi semakin dalam ketika Ketua Pembina WCC Puantara, Siti Mazumah, menjelaskan bahwa stigma terhadap korban masih menjadi penghalang utama dalam pemutusan siklus kekerasan. Ia menyoroti pentingnya kesadaran publik dan perlindungan hukum yang tegas.


“Awareness masyarakat sebenarnya menjadi kunci penting karena KDRT masih dianggap tabu,” ujar Zumah.


Acara ini dihadiri oleh berbagai komunitas lintas profesi seperti Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI), Komunitas Notaris Indonesia Berkebaya (KNIB), dan Arunika. Mereka aktif berdiskusi dan mengajukan pertanyaan, menunjukkan bahwa ruang edukasi seperti ini sangat dibutuhkan.


Sharad Sharan, sutradara dan produser film _Suamiku, Lukaku_, menyampaikan bahwa film ini dibuat berdasarkan kisah nyata yang terjadi di berbagai belahan dunia. “Saya berharap film ini bisa membuat perubahan. Satu hal khusus, semua yang terlibat di film ini adalah perempuan,” katanya. Film ini juga tengah mengikuti kompetisi di Berlin Film Festival.


Ketua KPB, Lia Nathalia, menutup acara dengan harapan agar kegiatan edukasi semacam ini bisa menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk lebih sadar dan berani bersikap terhadap KDRT.


“Semoga kegiatan edukasi ini bisa membuka wawasan kita untuk bersikap ke depan terhadap KDRT di sekitar kita,” ujar Lia.


Film _Suamiku, Lukaku_ menjadi bukti bahwa seni dapat menjadi alat advokasi yang kuat. Ia bukan hanya menyuarakan penderitaan, tetapi juga menawarkan harapan dan jalan keluar. Di tengah tantangan besar yang dihadapi para penyintas, narasi seperti ini menjadi cahaya yang menuntun menuju perubahan.*