JAKARTA - Pelantikan sepuluh anggota Komite Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto pada 7 November 2025 menjadi babak baru dalam upaya memperbaiki tata kelola dan kultur kelembagaan kepolisian. Presiden menegaskan bahwa reformasi Polri harus melahirkan kepastian hukum yang berkeadilan dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Bagi Prabowo, reformasi bukan sekadar perubahan struktural, tetapi pembenahan moral dan integritas aparat penegak hukum.
Momen ini mengingatkan kembali pada fase penting sejarah Polri ketika Presiden Soeharto menunjuk Jenderal Kunarto sebagai Kapolri pada 1991. Sebuah era ketika pembaruan institusi tidak hanya berbasis kebijakan, tetapi bertumpu pada etika pribadi pemimpin.
Pelajaran Moral dari Soeharto kepada Kunarto
Sebelum resmi menjabat, Jenderal Kunarto mendatangi Presiden Soeharto dengan penuh kerendahan hati. Ia mengakui telah lama meninggalkan dunia kepolisian dan merasa tidak tahu harus memulai pembenahan dari mana. Dengan kejujuran itu, ia meminta petunjuk.
Jawaban Soeharto justru sangat singkat, diam yang panjang, lalu petuah yang sederhana:
"Itu tidak sulit ya, Kunarto. Yang penting kamu baik. Asal kamu baik, maka semua akan baik."
Tiga menit hening berubah menjadi tiga kata kunci yang membentuk arah reformasi Polri di era Kunarto. Wejangan singkat Soeharto itu menjadi kompas moral yang kemudian menjadi pegangan Kunarto selama menjabat Kapolri. Ia melangkah keluar dari ruangan dengan tekad pribadi: menjadi orang baik, dan memastikan seluruh jajarannya ikut menjaga integritas yang sama.
Reformasi yang Berangkat dari Sederhananya Harapan Masyarakat
Kunarto kemudian dikenal sebagai pemimpin yang lurus dan bersahaja. Pada wawancaranya dengan Kompas saat Hari Bhayangkara ke-46 tahun 1992, ia menggambarkan dengan sangat jelas apa sebenarnya kebutuhan masyarakat dari Polri: hanya dua—rasa aman dan pelayanan yang baik.
Namun, ia tidak menutup mata bahwa dua hal sederhana itu belum mampu sepenuhnya dipenuhi oleh Polri pada saat itu. SDM terbatas, tuntutan publik meningkat, dan aparat sering “keponthal-ponthal” menghadapi kompleksitas tugas.
Karena itu Kunarto menegaskan bahwa reformasi tidak hanya bicara soal modernisasi peralatan, tetapi juga perubahan pola pikir. Teknologi tidak berarti apa-apa jika mental aparat tetap sama.
Dari sinilah muncul tekad legendaris yang hingga kini terus dikenang dalam institusi Polri: “Tekadku: Pengabdian Terbaik.”
Reformasi Polri di Era Prabowo: Melanjutkan Nilai, Mengubah Sistem
Pembentukan Komite Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo memiliki semangat yang sejalan, tetapi dalam konteks tantangan zaman yang jauh berbeda. Jika di era Soeharto reformasi bertumpu pada keteladanan pribadi, kini pemerintah menambah pilar baru: pengawasan ketat, restrukturisasi kelembagaan, serta peningkatan kualitas SDM melalui sistem yang lebih profesional dan transparan.
Semangat moral yang pernah digaungkan Pak Harto “kamu harus baik, kini bertemu dengan kebutuhan zaman, yaitu penegakan hukum yang bersih, akuntabel, dan modern.
Reformasi Polri hari ini bukan hanya melanjutkan kisah masa lalu, tetapi memperkuat pondasinya agar aparat kepolisian benar-benar mampu melindungi dan melayani masyarakat. Dari era Pak Harto hingga Presiden Prabowo, satu nilai tetap sama: integritas adalah inti dari reformasi apa pun.*



