ACEH – Perdamaian Aceh yang terwujud melalui Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005 menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia modern. Kesepakatan ini mengakhiri hampir tiga dekade konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, sekaligus membuka jalan bagi rekonsiliasi dan pembangunan di Tanah Rencong.


Banyak pihak menilai bahwa perdamaian ini lahir dari situasi luar biasa yang menuntut keputusan luar biasa pula. Salah satu momen krusial adalah bencana tsunami pada 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan Aceh, menelan ratusan ribu korban jiwa, dan meruntuhkan sekat psikologis antara kedua belah pihak.


Pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memanfaatkan momentum tersebut untuk membuka ruang dialog. Di sisi lain, GAM menunjukkan sikap terbuka dan bersedia berunding.


Proses negosiasi berlangsung dalam enam putaran perundingan yang dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Hasilnya adalah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yang menjadi dasar rekonsiliasi politik, demobilisasi pasukan GAM, pembebasan tahanan politik, serta penguatan otonomi khusus bagi Aceh.


Anggota DPR RI Benny K. Harman menyebut MoU Helsinki sebagai aset negara yang tak ternilai. Menurutnya, perdamaian Aceh bukan hanya milik masyarakat Aceh, tetapi juga bagian dari stabilitas nasional. Pernyataan ini kembali mengemuka di tengah bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh dan wilayah Sumatera lainnya pada 2025, saat stabilitas sosial menjadi kebutuhan mendesak.


Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun GAM pada 4 Desember 2025, pemerintah mengimbau semua pihak agar tidak terprovokasi oleh tindakan yang dapat mengganggu stabilitas. Aparat keamanan, terutama di tingkat Kodim dan Koramil, memperkuat komunikasi dengan tokoh masyarakat untuk menjaga situasi tetap kondusif. Komite Peralihan Aceh (KPA) juga diharapkan terus menjaga komitmen damai yang telah dibangun sejak 2005.


Dalam aspek hukum, Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 melarang penggunaan lambang yang menyerupai simbol organisasi separatis. Ketentuan ini kerap menjadi sorotan menjelang peringatan HUT GAM, terutama terkait pengibaran bendera atau simbol yang dianggap bertentangan dengan semangat MoU Helsinki. Pemerintah dan DPR juga menolak wacana pembentukan partai GAM, menegaskan bahwa transformasi politik harus melalui mekanisme demokrasi lokal yang telah tersedia.


Meski demikian, sejumlah elemen masyarakat sipil terus mendorong pemerintah untuk konsisten menjalankan isi MoU, khususnya terkait kewenangan otonomi, pengelolaan sumber daya alam, dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Mereka menilai bahwa menjaga perdamaian berarti memastikan seluruh kesepakatan dijalankan secara adil dan transparan. Catatan kritis juga disampaikan oleh KontraS, akademisi, dan organisasi masyarakat adat.


Di lapangan, sebagian masyarakat Aceh masih menaruh harapan pada implementasi penuh butir-butir MoU, termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta pengakuan atas kekhususan Aceh dalam kebijakan nasional. Pemerintah pusat menyatakan komitmennya, namun menekankan pentingnya keselarasan regulasi, kesiapan politik lokal, dan payung hukum yang memadai.


Pihak-pihak yang pernah terlibat dalam konflik juga mengingatkan pentingnya menjaga semangat perdamaian tanpa memunculkan simbol-simbol yang dapat memicu ketegangan atau nostalgia konflik. Mereka menekankan bahwa masyarakat Aceh saat ini membutuhkan ketenangan, terutama dalam menghadapi bencana dan tantangan ekonomi.


Menjelang peringatan HUT GAM, sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan aparat keamanan menjadi kunci. Upaya antisipasi terhadap potensi provokasi harus tetap mengedepankan pendekatan dialogis dan persuasif, yang selama ini menjadi fondasi keberhasilan perdamaian Aceh. Pemerintah pusat, TNI-Polri, dan tokoh lokal diharapkan menjaga komunikasi terbuka dan memperlakukan masyarakat dengan pendekatan yang humanis.*