JAKARTA – Upaya rekonsiliasi antara Gus Yahya Cholil Staquf dan jajaran Syuriyah PBNU tampaknya telah mencapai titik buntu. Pertemuan Forum Sesepuh dan Mustasyar NU di Tebuireng pada 6 Desember 2025, yang semula diharapkan menjadi ruang dialog dan penyelesaian internal, justru mempertegas jurang perbedaan yang semakin melebar. Alih-alih menjadi jalan damai, forum tersebut dinilai sebagai bagian dari strategi politik kubu Gus Yahya untuk menunda atau bahkan menggagalkan Rapat Pleno PBNU yang telah dijadwalkan pada 9–10 Desember mendatang.
Forum Tebuireng, yang mengusung nama besar pesantren bersejarah itu, digagas sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap keputusan Syuriyah PBNU yang telah memberhentikan Gus Yahya dari jabatan Ketua Umum. Namun, hasil pertemuan justru menguatkan temuan adanya pelanggaran serius dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan Gus Yahya selama menjabat. Hal ini mempertegas bahwa langkah pemecatan bukan sekadar manuver politik, melainkan respons atas pelanggaran prinsipil dalam tata kelola organisasi.
Surat resmi dari Syuriyah PBNU yang menolak hadir dalam forum tersebut menjadi sinyal tegas bahwa proses organisasi tetap berjalan sesuai konstitusi. Dalam surat itu, Syuriyah menyatakan komitmennya untuk fokus pada Rapat Pleno PBNU yang telah diumumkan sejak 2 Desember. Penolakan ini sekaligus menunjukkan bahwa ruang kompromi telah tertutup, dan bahwa forum Tebuireng tidak memiliki legitimasi struktural untuk mengintervensi proses formal organisasi.
Sebelumnya, Syuriyah PBNU telah memberikan waktu tiga hari kepada Gus Yahya untuk mengundurkan diri secara terhormat—sebuah langkah yang dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap kontribusinya di masa lalu dan upaya meredam eskalasi konflik. Namun, penolakan Gus Yahya terhadap keputusan Syuriyah, disertai klaim bahwa forum tersebut tidak sah, menjadi titik balik yang menutup peluang islah. Dalam konteks ini, bukan Syuriyah yang menutup pintu rekonsiliasi, melainkan Gus Yahya sendiri yang memilih jalur konfrontasi.
Sementara itu, dukungan terhadap Rapat Pleno PBNU terus mengalir. Pesantren-pesantren besar seperti Krapyak, serta suara kolektif dari ulama NU se-Madura dan poros muda NU, menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Syuriyah. Mereka menilai bahwa konsolidasi kepemimpinan baru adalah langkah penting untuk menjaga marwah, khittah, dan stabilitas organisasi di tengah tantangan zaman.
Kisruh ini menjadi pengingat bahwa NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia memiliki mekanisme internal yang kuat dan tidak mudah digoyahkan oleh kepentingan kelompok. Rapat Pleno PBNU pada 9–10 Desember 2025 akan menjadi panggung penting untuk menegaskan arah baru kepemimpinan NU—sebuah momentum untuk kembali pada prinsip kolektif kolegial dan menjaga marwah jam’iyyah dari tarik-menarik kepentingan personal.*



