JAKARTA — Hubungan antara Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, dan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, menyimpan kisah yang jauh lebih bernuansa daripada yang sering digambarkan publik. Meski berada dalam lanskap politik yang berbeda, keduanya menunjukkan sikap saling menghormati yang patut dicatat dalam sejarah politik nasional.
Megawati mulai aktif di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) saat Orde Baru masih berkuasa. Ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum PDI dalam Kongres Luar Biasa di Surabaya pada Desember 1993, dukungan dari akar rumput partai mengalir deras. Menariknya, Presiden Soeharto menyatakan tidak keberatan atas terpilihnya Megawati, sebuah sikap yang mencerminkan pengakuan resmi dari pemerintah saat itu terhadap kepemimpinan Megawati.
Kehangatan Dua Dinasti Politik: Soekarno dan Soeharto
Di balik dinamika politik, hubungan antara keluarga Soekarno dan Soeharto ternyata cukup hangat. Anak-anak dari kedua tokoh besar ini kerap bertemu dalam suasana kekeluargaan. Momen pertemuan antara Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Megawati menjadi simbol bahwa persahabatan lintas keluarga tetap terjaga, meski perbedaan pandangan politik tidak terhindarkan.
Kehangatan ini menunjukkan bahwa politik tidak selalu menjadi tembok pemisah, melainkan bisa menjadi jembatan untuk saling memahami.
Megawati: “Jangan Hujat Pak Harto”
Dalam berbagai kesempatan, Megawati menunjukkan sikap yang konsisten dalam menjaga etika politik. Pada acara pembukaan sekolah kader legislatif PDI Perjuangan, 15 November 2018, ia menyampaikan pesan penting:
“Waktu ayah saya dijatuhkan dengan cara yang tidak beretika, saya bilang jangan hujat Pak Harto.”
Pernyataan tersebut mencerminkan komitmen Megawati untuk tidak membiarkan politik berubah menjadi arena kebencian. Ia lebih memilih jalur penghormatan dan persatuan sebagai fondasi perjuangan.
Panda Nababan: Megawati Menolak Politik Dendam
Panda Nababan, tokoh senior PDI Perjuangan, turut menegaskan bahwa Megawati tidak pernah menanamkan kebencian terhadap Soeharto. Ia menyebut bahwa anggapan publik tentang permusuhan antara Megawati dan Soeharto adalah keliru dan tidak berdasar.
Megawati justru dikenal sebagai pemimpin yang mengedepankan rekonsiliasi dan penghormatan terhadap sejarah. Pertemuan antara Megawati dan Tutut sebagai dua perempuan pemimpin organisasi politik menjadi bukti bahwa solidaritas bisa tumbuh di atas perbedaan.
Para pengamat menilai bahwa hubungan Megawati dan Soeharto dapat menjadi teladan bagi generasi politik masa kini: bahwa menghargai lawan politik adalah bagian dari menjaga keutuhan bangsa.*



