JAKARTA - Di banyak negara, anjloknya harga batubara global biasanya menjadi alarm bahaya bagi para pengusaha tambang. Margin menyempit, ekspor tersendat, dan tekanan dari lembaga keuangan pun meningkat. Namun, di Indonesia, pemandangan yang muncul justru sebaliknya: para pengusaha tambang tetap tenang, bahkan terlihat nyaman.
Apa yang membuat mereka begitu percaya diri di tengah gejolak pasar dunia? Jawabannya terletak pada satu kebijakan domestik yang tak berubah sejak 2018: harga jual batubara untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) tetap dipatok maksimal di angka 70 dolar AS per ton untuk sektor kelistrikan, dan 90 dolar AS untuk industri semen serta pupuk.
Kebijakan ini, menurut Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menjadi tameng emas bagi para pengusaha tambang. Mereka tetap menikmati keuntungan besar meski harga internasional tengah melorot.
“Pengusaha tambang tetap kaya raya dan pesta pora karena tidak kena imbas dari turunnya harga batubara. Pemerintahan Prabowo sangat baik kepada pengusaha tambang batubara. Biar harga pasar nyungsep, tapi harga dalam negeri dijamin mereka tetap untung,” ujar Uchok Sky kepada wartawan, Minggu (23/11/2025).
Sementara itu, pihak yang justru harus menanggung beban adalah BUMN seperti PLN, serta industri strategis seperti semen dan pupuk. Mereka tetap membeli batubara dengan harga tinggi, meski harga acuan global sudah jauh menurun.
“Tidak turunnya harga batubara dalam negeri memperlihatkan pemerintah melindungi para bandit. Ini bentuk clientelism, oligarchy protection, atau kalau memakai bahasa yang lebih jujur: kleptokrasi halus berbaju kebijakan energi. Mereka kaya raya, rakyat tetap miskin,” tambah Uchok.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa Harga Batubara Acuan (HBA) untuk periode 1–14 November 2025 mengalami penurunan dan stagnasi di beberapa kategori:
- HBA (6.322 GAR): 102,03 dolar AS (turun dari 103,75 dolar AS)
- HBA I (5.300 GAR): 67,29 dolar AS (naik tipis dari 67,22 dolar AS)
- HBA II (4.100 GAR): 44,29 dolar AS (naik dari 44,02 dolar AS)
- HBA III (3.400 GAR): 33,88 dolar AS (naik dari 33,74 dolar AS)
Dengan harga pasar yang terus menurun, selisih antara harga global dan harga DMO semakin mencolok. Namun, kebijakan harga tetap yang diterapkan pemerintah justru memperkuat kesan bahwa negara lebih berpihak pada kepentingan pengusaha tambang ketimbang publik luas.
Di tengah sorotan terhadap keberpihakan kebijakan energi, pernyataan Uchok Sky menjadi pengingat bahwa di balik angka-angka dan regulasi, ada pertarungan kepentingan yang nyata. Dan dalam pertarungan itu, tak semua pihak berdiri di arena yang setara.*



