Yogyakarta – Kapan terakhir kali kita benar-benar mendengarkan jeritan yang datang dari balik dinding rumah tetangga? Pertanyaan ini menjadi pembuka yang menggema dalam diskusi bertema “KDRT di Sekitar Kita, Apa yang Harus Dilakukan?” yang digelar Komunitas Perempuan Berkebaya (KPB) bekerja sama dengan SinemArt, Museum Omah Jayeng, dan Garin Art Lab di Yogyakarta, Minggu (9/11/2025).


Acara ini menampilkan preview film “Suamiku, Lukaku” garapan Sharad Sharan, yang selama 15 menit membuka luka lama masyarakat—tentang bagaimana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap disembunyikan, dinormalisasi, bahkan dijadikan aib oleh korban sendiri.


“Terus terang saya shock melihat seberapa gamblang realitas itu ditampilkan,” ujar Setawijaya, Ketua Yayasan Museum Omah Jayeng yang juga pengajar di Akademi Film Yogyakarta. “Namun justru itulah kekuatannya. Film ini memaksa kita berhenti menutup mata.”


Ketika Seni Menjadi Medium Keberanian


“Suamiku, Lukaku” bukan sekadar drama keluarga. Film yang dibintangi Baim Wong, Acha Septriasa, Ayu Azhari, Raline Shah, dan Mathias Muchus ini dirancang sebagai karya sosial yang mengajak publik untuk mengakui betapa rapuhnya perlindungan bagi perempuan di ruang domestik.


“Semua adegan diambil dari kisah nyata,” tegas sutradara Sharad Sharan, yang sebelumnya dikenal lewat film Pura-Pura Nikah. “Saya ingin melakukan sesuatu untuk perempuan. Mereka adalah generator kemanusiaan.”


Sharad menjelaskan, setidaknya ada lima bentuk KDRT—fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan penelantaran—yang digambarkan dalam film ini. Ia juga menyoroti akar struktural kekerasan, yakni budaya patriarki yang masih menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.


“Banyak perempuan yang tidak bersuara karena takut, malu, atau terjerat ekonomi. Film ini ingin memberi mereka ruang untuk berani melihat diri sendiri dan berkata: cukup,” tambahnya.


Budaya Patriarki yang Terinternalisasi


Nurmawati dari Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC) menegaskan bahwa KDRT bukan sekadar masalah personal, melainkan masalah sosial yang bersumber dari ketimpangan gender.


“Dominasi laki-laki tidak lahir dari kebencian, tapi dari konstruksi budaya yang salah kaprah. Kita tumbuh dalam sistem yang menempatkan laki-laki di posisi kuasa, dan perempuan sebagai pihak yang harus tunduk,” ujarnya.


Menurut data Komnas Perempuan 2023, terdapat lebih dari 339.000 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan mayoritas terjadi di rumah tangga. Namun angka sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi karena mayoritas korban memilih diam.


“Diamnya korban membuat kekerasan seolah normal. Dan saat kekerasan menjadi normal, kemanusiaan kita ikut terkikis,” lanjut Nurmawati.


Sinema Sebagai Ruang Dialog


Diskusi yang dipandu oleh Ketua KPB Lia Nathalia ini bukan sekadar membicarakan film, tetapi membuka perbincangan lintas disiplin: seni, hukum, psikologi, dan kebudayaan. Dengan melibatkan kru perempuan di berbagai posisi produksi, film ini juga berupaya menjadi contoh kesetaraan dalam proses kreatif.


Film “Suamiku, Lukaku” dijadwalkan tayang di bioskop pada kuartal pertama 2026, dan diharapkan menjadi media edukasi publik tentang urgensi menghentikan siklus kekerasan domestik.


Dari Layar ke Aksi Nyata


Melalui “Suamiku, Lukaku”, para pembuat film dan aktivis berharap masyarakat tak lagi menganggap KDRT sebagai urusan rumah tangga semata. Sebaliknya, setiap penonton diajak menjadi saksi sekaligus bagian dari perubahan sosial.


“Ini bukan sekadar film. Ini ajakan untuk peka, berhenti menormalisasi kekerasan, dan berdiri bersama korban,” tutup Lia Nathalia.


Karena pada akhirnya, kekerasan yang dibiarkan akan selalu menemukan rumahnya. Namun kesadaran yang tumbuh—melalui seni, percakapan, dan empati—dapat menjadi awal dari penyembuhan kolektif.

Dan mungkin, dari sebuah film, langkah perubahan itu bisa dimulai. (***)*