JAKARTA – Di tengah dinamika politik nasional yang kerap memanas, pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Kelima RI, Megawati Soekarnoputri, menjadi angin segar. Bertempat di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, pertemuan itu menjadi penanda bahwa jalinan komunikasi keduanya tetap erat, bahkan setelah Prabowo resmi menjabat sebagai Presiden sejak 7 April 2025.
Pertemuan ini bukan sekadar silaturahmi biasa. Bagi banyak pihak, ini adalah simbol bahwa perbedaan politik tidak harus memutuskan tali persahabatan. Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Alfath Bagus Panuntun, menyebut pertemuan tersebut sebagai langkah strategis dalam menjaga harmoni antarnegarawan.
“Meski ada perbedaan politik, keduanya tetap menjalin komunikasi erat demi masa depan bangsa,” ujarnya.
*Nasi goreng dan diplomasi yang membumi*
Yang menarik, dalam berbagai kesempatan, Megawati kerap menyebut nasi goreng sebagai simbol kedekatannya dengan Prabowo. Makanan sederhana itu menjadi menu andalan setiap kali keduanya bertemu. Dalam peringatan HUT ke-52 PDI Perjuangan, Megawati bahkan menyebut “diplomasi nasi goreng” sebagai jembatan keakraban yang tak lekang oleh waktu.
Simbol ini bukan sekadar romantisasi. Ia mencerminkan bahwa politik bisa dibangun dari hal-hal sederhana, dari meja makan yang hangat, bukan hanya ruang sidang yang formal.
*Solid di tengah badai demonstrasi*
Kedekatan Prabowo dan Megawati juga diuji saat Indonesia dilanda gelombang demonstrasi pada Agustus 2025. Di tengah tekanan publik, Megawati tetap hadir mendampingi Presiden Prabowo di Istana Negara. Sikap ini dinilai sebagai bentuk komitmen terhadap stabilitas nasional dan bukti bahwa kepentingan rakyat tetap menjadi prioritas utama.
Politisi PDIP, Muhammad Guntur Romli, menyebut kehadiran Megawati saat itu sebagai sinyal kuat bahwa kerja sama lintas partai masih sangat mungkin terjadi, bahkan di tengah perbedaan ideologis.
*Menjaga komunikasi, menjaga negeri*
Hubungan harmonis antara dua tokoh besar ini dinilai menjadi modal penting dalam menjaga stabilitas politik nasional. Dengan komunikasi yang terus terjaga, berbagai isu strategis nasional dan global bisa direspons dengan lebih cepat dan solid.
Pertemuan semacam ini diharapkan menjadi contoh bahwa politik tak harus keras dan kaku. Ia bisa cair, hangat, dan membumi—seperti sepiring nasi goreng yang dinikmati bersama.
Kalau kamu ingin tahu bagaimana simbol-simbol sederhana bisa membentuk narasi politik yang kuat, kisah Prabowo dan Megawati ini layak jadi pelajaran.*



