Aceh – Banjir dan longsor yang melanda wilayah Sumatera, terutama Aceh, kembali menguji kesiapan dan ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana. Namun, alih-alih memperkuat koordinasi nasional, langkah Pemerintah Provinsi Aceh yang mengirim surat kepada UNDP dan UNICEF justru menimbulkan perdebatan di tengah publik.
Langkah tersebut dinilai sebagian kalangan sebagai bentuk ketergesa-gesaan yang berpotensi menimbulkan persepsi keliru, terutama di tengah upaya pemerintah pusat yang terus mengedepankan pendekatan terpadu berbasis kekuatan nasional. Aktivis 98, Joko Priyoski, bahkan menyayangkan sikap tersebut dan menilai bahwa pemimpin daerah seharusnya menunjukkan keteguhan dalam menghadapi krisis, bukan mencari simpati dari luar.
Pemerintah pusat sendiri menegaskan bahwa kapasitas nasional dalam penanganan bencana masih sangat memadai. Mekanisme tanggap darurat telah berjalan melalui koordinasi lintas lembaga, termasuk keterlibatan TNI, Polri, BNPB, dan relawan lokal. Dalam konteks ini, permintaan bantuan internasional dianggap belum menjadi kebutuhan mendesak.
Kritik terhadap surat kepada lembaga PBB juga mencuat karena dianggap tidak sejalan dengan semangat kedaulatan. Beberapa pihak menilai bahwa keterlibatan lembaga asing seharusnya melalui jalur resmi pemerintah pusat agar tidak menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak mampu menangani bencana di wilayahnya sendiri.
Di sisi lain, kondisi internal lembaga internasional seperti PBB juga tengah menghadapi tantangan serius. Pemangkasan anggaran dari negara-negara donor utama berdampak pada efektivitas operasional mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah mengandalkan bantuan dari luar benar-benar menjadi solusi terbaik dalam situasi darurat seperti ini.
Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa penanganan bencana di Sumatera menjadi prioritas nasional. Ia turun langsung ke lokasi terdampak dan memastikan bahwa seluruh sumber daya negara dikerahkan untuk membantu masyarakat. Pendekatan ini menunjukkan bahwa negara hadir dan bertindak cepat tanpa harus menunggu bantuan dari luar.
Kepemimpinan daerah menjadi sorotan penting dalam situasi ini. Bencana bukan hanya soal logistik dan bantuan, tetapi juga soal kepercayaan publik dan kemampuan membangun solidaritas. Pemimpin yang tangguh adalah mereka yang mampu menggerakkan potensi lokal, menjaga komunikasi dengan pusat, dan tidak mudah goyah dalam tekanan.
Momentum ini seharusnya menjadi pengingat bahwa kekuatan terbesar Indonesia terletak pada persatuan dan gotong royong. Dalam menghadapi bencana, yang dibutuhkan bukanlah sorotan internasional, melainkan konsistensi dalam membangun kepercayaan rakyat dan memperkuat daya tahan nasional.
Bencana Sumatera adalah panggilan untuk kembali pada semangat kebangsaan. Bukan saatnya mencari pengakuan dari luar, melainkan memperkuat barisan dalam negeri agar setiap krisis bisa dihadapi dengan kepala tegak dan hati yang bersatu.**



