Oligarki dalam Industrialisasi Hutan Adat Papua

Oligarki dalam Industrialisasi Hutan Adat Papua

Smallest Font
Largest Font

Astuti Dwicayani Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

YOGYAKARTA - Papua merupakan daerah yang diprioritaskan dalam agenda utama pemerataan ekonomi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun dalam praktiknya, agenda mengembangkan industri ekstraktif, seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan kehutanan di Papua masih menyisakan dampak buruk bagi masyarakat adat. Dampak ini disebabkan oleh sejumlah kelompok elit atau oligarki telah menguasai sumber daya alam Papua secara sepihak, merampas hak-hak masyarakat adat, dan memiskinkan mereka. Untuk memahami fenomena ini, penulis menggunakan teori oligarki yang dikemukakan oleh Jeffrey Winters. Teori ini menggambarkan bagaimana segelintir orang dengan kekuatan ekonomi dan politik yang besar dapat menguasai negara dan merugikan mayoritas rakyat, termasuk masyarakat adat Papua yang terpinggirkan (Winters, 2011). (13/13/2024).

Oligarki dan Pembangunan di Papua

Teori oligarki Jeffrey Winters mengemukakan bahwa oligarki berfungsi untuk mempertahankan dan memperluas kepentingan-kepentingan elit melalui kontrol atas kekayaan dan politik negara. Dalam konteks Papua, kontrol ini tercermin dalam dominasi sektor industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan kehutanan. Menurut data dari Forest Watch Indonesia (FWI), pada tahun 2018, lebih dari 70% dari total luas lahan hutan di Papua telah dikelola oleh perusahaan besar, sebagian besar di sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Sektor ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki koneksi erat dengan elit politik dan bisnis Indonesia, yang seringkali menggunakan kekuasaan mereka untuk memperluas pengaruh dan mengamankan keuntungan mereka. Sementara itu, masyarakat adat yang bergantung pada hutan adat untuk kebutuhan hidup mereka, seperti makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal, tidak mendapatkan keuntungan yang sebanding dan sering kali kehilangan hak atas tanah mereka melalui proses yang tidak adil dan tidak transparan (Forest Watch Indonesia, 2018).

Perampasan Tanah Adat dan Kekuasaan Oligarki

Oligarki di Papua tidak hanya terbatas pada penguasaan sumber daya alam, tetapi juga dalam hal kontrol terhadap kebijakan publik yang berhubungan dengan pengelolaan tanah adat. Salah satu contoh yang mencolok adalah perampasan hak atas tanah yang dilakukan melalui berbagai mekanisme, seperti pemberian izin konsesi kepada perusahaan besar tanpa partisipasi yang adil dari masyarakat adat. Menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), hampir 60% wilayah Papua sudah diberikan izin eksploitasi kepada perusahaan besar tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat. Proses ini sering kali tidak melalui konsultasi yang sah dengan masyarakat adat atau bahkan tanpa pemberitahuan yang memadai, sehingga mereka kehilangan akses atas tanah mereka yang merupakan bagian integral dari identitas dan budaya mereka. Oligarki, yang terdiri dari segelintir pengusaha besar yang memiliki akses ke kekuasaan politik, memainkan peran penting dalam mempercepat perampasan ini, sering kali dengan melibatkan peran aparat keamanan dan pejabat pemerintah (JATAM, 2020).

Ketimpangan Ekonomi: Implikasi Sosial dan Ekologis

Salah satu implikasi paling nyata dari dominasi oligarki dalam industrialisasi hutan adat Papua adalah ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Sementara kelompok oligarki terus mengakumulasi kekayaan, masyarakat adat yang terdampak langsung oleh proyek-proyek industri justru semakin terperosok dalam kemiskinan. Data BPS Papua 2020 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Papua mencapai 27,55%, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya sekitar 9,41%. Masyarakat adat, yang sebagian besar bergantung pada hasil hutan dan pertanian tradisional, kerap kali tidak mendapat manfaat dari proyek pembangunan ini, bahkan mereka seringkali terpaksa menanggung kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas industri. Selain itu, pemiskinan ini juga berdampak pada hilangnya keberagaman budaya dan sistem ekonomi lokal, yang telah mengakar selama berabad-abad. Oleh karena itu, ketimpangan ekonomi yang tercipta bukan hanya masalah kesejahteraan ekonomi semata, tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya masyarakat adat Papua (Badan Pusat Statistik Papua, 2020).

Pengaruh Oligarki terhadap Kebijakan Pembangunan

Teori oligarki Winters juga mengemukakan bahwa oligarki berperan besar dalam mempengaruhi kebijakan publik untuk menguntungkan kepentingan mereka. Di Papua, hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis besar ketimbang kesejahteraan masyarakat adat. Sebagai contoh, dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan ekspor, pemerintah pusat terus mendorong ekspansi sektor kelapa sawit, yang menjadi salah satu sektor yang paling banyak mendatangkan keuntungan bagi para elit pengusaha. Padahal, kelapa sawit sering kali berkontribusi terhadap deforestasi dan kerusakan ekosistem yang sangat merugikan masyarakat adat. Menurut data dari Global Forest Watch, Papua kehilangan lebih dari 1,6 juta hektar hutan antara tahun 2001 dan 2020, sebagian besar disebabkan oleh konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Perusahaan-perusahaan besar yang memegang kendali atas sektor ini cenderung mendapat dukungan dari pemerintah melalui kebijakan yang mempermudah perizinan dan pengurangan regulasi lingkungan yang ketat (Global Forest Watch, 2020).

Solusi: Menata Ulang Pembangunan Berbasis Keadilan

Untuk mengatasi dampak negatif dari oligarki dalam industrialisasi hutan adat Papua, diperlukan pendekatan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pendekatan ini harus mengutamakan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan ekosistem. Pemerintah harus lebih transparan dalam proses perizinan dan pengelolaan sumber daya alam, serta lebih memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang ada. Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah dengan memperkuat pengakuan terhadap hak-hak atas tanah adat melalui pembentukan regulasi yang lebih jelas dan adil. Selain itu, partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam harus dijamin, untuk memastikan bahwa pembangunan benar-benar berpihak pada mereka. Dalam hal ini, data yang didapatkan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola dengan prinsip-prinsip adat terbukti lebih baik dalam menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan wilayah yang dikelola secara konvensional (AMAN, 2019).

Referensi

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). (2019). "Keberlanjutan dan Perlindungan Hutan Adat." Retrieved from www.aman.or.id.

Badan Pusat Statistik (BPS) Papua. (2020). "Indikator Pembangunan Papua." Retrieved from www.bps.go.id.

Forest Watch Indonesia (FWI). (2018). "Laporan Pemantauan Kehutanan Indonesia: Papua." Retrieved from www.fwi.or.id.

Global Forest Watch. (2020). "Papua Forest Loss." Retrieved from www.globalforestwatch.org.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). (2020). "Industri Ekstraktif dan Perampasan Tanah di Papua." Retrieved from www.jatam.org.

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.

Editors Team
Daisy Floren

Rekomendasi

Postingan dibawah ini milik Platform Advertnative, redaksi portalberita.co.id tidak terkait dengan pembuatan konten ini.