Menyusuri Sejarah dan Keindahan Beksan Langendriyan Madraswaran Gaya Mangkunegara

Menyusuri Sejarah dan Keindahan Beksan Langendriyan Madraswaran Gaya Mangkunegara

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Nareswari Anjani Dahayu Putri dan Sriyadi (Program Studi Seni Tari, Institut Seni Indonesia Surakarta, Indonesia)

SURAKARTA - Dari segi bahasa, langen berasal dari Bahasa Kawi (lango atau lange) yang berarti indah atau keindahan, sedangkan driya yang berarti hati. Jadi Langendriyan memiliki arti sebagai ungkapan hati dari seniman yang terwujud dengan berbagai keindahan. Keindahan yang dimaksud meliputi keindahan dalam tari, tembang, karawitan, tata rias dan busana, serta berbagai elemen artistik lainnya. (27/10/2024)

Beksan Langendriyan Mandraswaran: Damarwulan Kantaka berbeda dengan tari-tari pada umumnya. Ciri khas pada Beksan Langendriyan Mandraswaran yaitu ditarikan oleh perempuan sebagai tokoh laki-laki, serta bentuk dialog yang digunakan adalah tembang-tembang jawa yang dilakukan secara langsung oleh para penari sambil menari. Beksan Langendriyan Mandraswaran ini merupakan karya drama tari lama, untuk versi fullnya terdapat empat episode, sehingga memerlukan waktu yang sangat lama. Namun demikian, Beksan Langendriyan Mandraswaran ini sudah jarang bahkan tidak dipentaskan secara keseluruhan (full episode) di Pura Mangkunegaran. Sekarang ini, yang sering dipentaskan hanya beberapa potongan segmen (pethilan) dari full episode tersebut. 

Kesempatan yang sangat langka, pada Selasa, 24 September 2024 di Pendopo Kelurahan Keprabon, Surakarta, Pakarti (Paguyuban Karawitan dan Tari) mempersembahkan beberapa tarian khas Mangkunegaran yang salah satunya adalah Beksan Langendriyan Mandraswaran dengan lakon Damarwulan Kantaka (episode Langendriyan Telu).

Menurut Wahyu Santosa Prabowo, Langendriyan yang kemudian terwujud menjadi sebuah drama tari berdialog, tetapi dialognya menggunakan tembang Bahasa Jawa seperti Opera Tari Jawa. Ditarikan oleh penari perempuan, dari zaman dahulu dialog-dialognya menggunakan tembang-tembang Jawa. Hal tersebut berawal pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV. Berawal dari para pembatik yang bertugas untuk membuat batik tulis di daerah Pasar Pon. Pembatik satu dengan pembatik lainnya melakukan proses pembuatan batik tulis menggunakan canting sambil nembang dan saling merespon atau bersautan. Jauh sebelum pemerintahannya Mangkunegara IV, sebelum proses membuat batik empu-empu batik pasti berdoa terlebih dahulu, berdoanya dalam bentuk tembang-tembang Jawa, sehingga membuat batik memerlukan waktu yang sangat lama. Wahyu Santosa Prabowo bercerita menurut Bei Mardusari (salah satu empu batik) "mbatik kui nggih nganggo ndungo" yang berarti membatik juga senantiasa dengan doa. Dan terbukti, saat proses membatik bersamaan nembang, hasil dari batik tulis tersebut lebih berkualitas dari pada batik lainnya.

Juragan pengusaha batik di Pasar Pon, yang bernama Godlieb Killian berasal dari Jerman (Indo-Jerman) menjadi tertarik setelah mengetahui para pembatik di Pasar Pon nembang dan saling bersautan sambil membatik. Lalu Godlieb Killian menghadap Sri Mangkunegara IV, menceritakan tentang kegiatan para pembatik dan Godlieb Killian berinisiatif bahwa pola tembang yang saling bersautan tersebut bisa dikembangkan lebih lanjut terutama di Pura Mangkunegaran. Bagaikan kabar gembira, Sri Mangkunegara IV menerima ide tersebut dan kemudian ide tersebut diserahkan kepada menantunya yaitu KRMH Tandhakusuma. Tandhakusuma merupakan seorang empu seni (khususnya tari) yang ada di Pura Mangkunegaran. Ia pernah belajar seni bersama Sinuwun Pangkubuwana VIII. Ketika KRMH Tandhakusuma bertemu dengan Godlieb Killian, maka mulailah proses untuk meciptakan genre baru atau suatu bentuk karya baru yaitu Langendriyan Mandraswaran. 

Langendriyan Mandrawaran merupakan drama tari, diambil dari Cerita Wayang Klithik yang bersumber dari ide Sri Mangkunegara IV. Wayang Klithik merupakan wayang dari kayu berbentuk pipih tetapi tangannya dari kulit. Wayang Klithik memiliki cerita khusus yaitu Siklus Majapahit dan lebih terperinci pada Siklus Damarwulan, yaitu perjalanan kisah hidupnya Damarwulan dari lahir, remaja, dewasa, sampai menjadi Raja Majapahit dengan versi Pura Mangkunegaran. Cerita yang diambil pada Beksan Langendriyan yaitu tentang Siklus Damarwulan. Akan tetapi, tokohnya tidak hanya Damarwulan saja tetapi ada peran pendukungnya yaitu Menakjingga, Dayun, Ratu Ayu Kencana Wungu, Menakoncar, Ronggolawe, Patih Lugender, Layang Seto, Layang Kumitir, Wito, Puyengan, Sabdo Palon, Nayagenggong, dsb. Meskipun tokohnya putra tetapi untuk versi Langendriyan Mandraswaran gaya Mangkunagaran tokoh-tokoh tersebut ditarikan oleh penari perempuan. Seperti tokoh Menakjingga atau Ronggolawe ditarikan oleh perempuan dengan gaya putra gagah, dan Damarwulan atau Menakoncar ditarikan oleh perempuan dengan gaya putra alus.

Ketahanan dan kestabilan para penari saat membawakan Beksan Langendriyan dengan lakon atau episode Damarwulan Kantaka sangat luar biasa, karena tembang-tembang indah bersamaan dengan menari yang menjadi salah satu daya tarik dalam Beksan Langendriyan. Selain ketahanan dan kestabilan, para penari yaitu menghayati suatu peran, pakem atau beberapa aturan yang harus ditaati dalam rangkaian gerak, tata rias dan busana, serta gendhing sebagai pendukung suasana dalams uatu lelakon. (Kaori Okado, pemeran karakter Minakjinggo dalam langendriyan Mandraswaran episode Damarwulan Kantaka).

Editors Team
Daisy Floren

Rekomendasi

Postingan dibawah ini milik Platform Advertnative, redaksi portalberita.co.id tidak terkait dengan pembuatan konten ini.